
Siapakah orang yang berada di belakang temuan Pithecanthropus erectus di Trinil? Bagaimana sang penemu akhirnya tiba dan menjelajahi Pulau Jawa?
CDR NewsOnline.com - Pithecanthropus erectus Diperkirakan bahwa makhluk tersebut berpindah dari daratan China menuju Indonesia. Bukti hal ini dapat dilihat melalui penemuan Situs Houkoudian di dekat Beijing, tempat banyak fosil manusia ditemukan. Fosil-fosil tersebut menjadi bukti. Sinanthropus pekinensis atau Manusia Peking.
Sosok yang menemukan Pithecanthropus erectus Eugene Dubois merupakan individunya. Ia ialah pakar dalam bidang paleoantropologi, yaitu disiplin ilmu yang mengkaji tentang asal-usul serta perkembangan spesies manusia melalui fosil dan studi geologi dari negara Belanda. Penelitiannya terfokus pada kajian makhluk hidup jaman prasejarah di wilayah Indonesia.
Nama Eugene Dubois menjadi terkenal saat menemukan fosil pertamanya di Trinil, Jawa Timur, tahun 1890. Penemuannya tersebut selanjutnya disebut sebagai Pithecanthropus Erectus atau Manusia Jawa.
Eugene dilahirkan pada tanggal 28 Januari 1858 di Limburg, Belanda. Ibunya berasal dari Belgia dan ayahnya bernama Jean Joseph Balthazar Dubois, seseorang yang bekerja sebagai apoteker. Pada usianya yang ke-13, Dubois memilih keluar dari bangku sekolah.
Ayahnya sebenarnya berharap agar ia melanjutkan jejak menjadi apoteker. Oleh karena itu, pada tahun 1877, Dubois mempelajari kedokteran di Universitas Amsterdam. Pada waktu yang bersamaan, ia juga menjabat sebagai pengajar anatomi di dua lembaga pendidikan seni yang terletak di Risjksmuseum Amsterdam.
Seiring berjalannya waktu di bangku perkuliahan, Dubois mempelajari lebih dalam tentang anatomi perbandingan serta laring hewan bertulang punggung, hal ini akhirnya menimbulkan ketertarikan baginya untuk menyelami aspek evolusi dari organ-organ tersebut. Meskipun begitu, bidang yang menjadi fokus utamanya tetap adalah anatomi tubuh manusia.
Eugene Dubois menghabiskan tujuh tahun untuk menyelesaikan pendidikannya dalam bidang kedokteran. Ia berhasil mendapatkan gelarnya sebagai Doktor Medis pada tahun 1884. Pasca kelulusannya dari fakultas kedokteran, Eugene Dubois memulai petualangannya di alam liar guna mencari fosil atau jejak-jejak yang dia deskripsikan sebagai makhluk berada di pertemuan antara manusia dan kera.
Dubois pergi ke Indonesia pada pertengahan tahun 1880-an dengan tujuan mewujudkan hasratnya mencari fosil manusia prasejati. Pada sekitar tahun 1887, ia mulai mengunjungi tempat-tempat potensial di mana fosil-fosil itu dapat ditemukan, terutama di area-area sungai serta goa-goanya.
Sungai serta gua pertama yang dikunjungi Dubois berlokasi di Pulau Sumatera, sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Pulau Jawa. Tahun 1889, ia menerima pengiriman fosil tengkorak dari Wajak, Tulung Agung, yang ditemukan oleh B.D Van Reitschotten.
Fosil tersebut selanjutnya dipelajari dan diberi nama Homo wajakensis. Kemudiannya, Dubois meneruskan kajiannya ke pelbagai tempat lain seperti Trinil dan Sangiran. Nama beliau menjadi lebih tersohor berikutan pencarian fosil kepala tengkorak di Trinil pada tahun 1890, yang akhirnya dinamakan demikian. Pithecanthropus erectus .
Pithecanthropus Erectus Merupakan contoh perdana dari jejak-jejak hominid awal yang diketemukan di luar benua Africa maupun Eropa. Pada masa tersebut, Dubois melanjutkan penelitian medannya ke sejumlah lokasi, antara lain Situs Sangiran di Jawa Tengah serta Trinil di wilayah Jawa Timur.
Di antara tahun 1895 hingga 1900, Eugene Dubois diketahui telah menyumbangkan 19 makalah saintifik yang berfokus pada Pithecanthropus erectus. Kemudian, pada tahun 1897, dia menerima penghargaan gelar doctor honoris causa dalam disiplin studi botani dan zoologi dari Universitas Amsterdam.
Dua tahun setelah itu, Dubois mendapatkan pangkat tambahan menjadi profesor geologi. Sesudah mengabdikan diri dalam penelitian paleontologi dan geologi yang luas, Dubois meninggal pada tanggal 16 Desember 1940 di Venlo, Belanda.
Koleksi temuan paleontologinya serta dokumen-dokumennya tersimpan di Naturalis yang berlokasi di Leiden, Belanda. Di samping itu, terdapat pula area spesial dalam Museum Het Ursulienen convent (Museum Internasional di Belanda) yang ditujukan untuk menggambarkan sejarah keluarga, gaya hidup, dan kontribusi Eugene Dubois.
Berawal dari The Missing Link Charles Darwin
Bagaimana Dubois tiba di Indonesia sebenarnya berkaitan erat dengan teori yang diajukan oleh Charles Darwin mengenai evolusi. the missing link .
Pada sekitar tahun 1830-1833, geolog asal Inggris yang bernama Charles Lyell (1787 – 1875) menyampaikan ide-idenya dalam Principles of Geology Terkait dengan proses pembentukan Bumi yang tetap konstan. Hal yang terjadi pada zaman dahulu juga masih terjadi saat ini.
Teori Lyell tentang uniformitarianism, Pada waktu tersebut, pandangan ini dipandang sebagai hal yang cukup logis menurut kelompok tertentu. Menurut mereka, kulit bumi bagian luarnya, seperti yang kita lihat hari ini, terbentuk secara bertahap dan berlapis-lapis melalui sebuah proses alamiah serupa dengan apa yang masih terjadi pada zaman modern ini.
"Planet bumi ini telah menua, tidak hanya berusia satu atau dua ribu tahun, tetapi sudah terbentuk sejak jutaan tahun yang lampau," demikian tertulis dalam karya Lyell.
Karya Lyell ini mengagumkan seorang muda bernama Charles Robert Darwin (1809-1882). Ia sedang belajar kedokteran dan setelah itu beralih ke teologi sambil menyelami fenomena alam dengan minat yang besar.
Setelah itu, Darwin mengkhususkan diri dalam pengetahuan tentang alam setelah bergabung dalam perjalanan sains milik Inggris yang dilakukan menggunakan kapal HMS Beagle dari tahun 1831 hingga 1836. Perjalanannya mencakup Patagonia, Tierra del Fuego, Chili, Peru, serta sejumlah pulau di Samudera Pasifik.
Setelah pulang dari ekspedisi, Darwin digigit serangga yang menyebabkan dia tertular penyakit Chaga. Kondisinya kian memburuk seiring bertambahnya usia.
Tepat pada saat seperti ini, Darwin semakin giat merumuskan catatan perjalanannya, bahkan ia melanjutkannya selama lebih dari dua dekade untuk mengumpulkan laporan tentang zoologi dan geologi hasil penemuannya sepanjang ekpedisinya, hingga akhirnya terbitlah buku tersebut. Asal Usul Spesies melalui Pemilihan Alamiah, tentang Pelestarian Kehidupan Tahun 1859 dia menyampaikan pandangannya bahwa semua organisme hidup — termasuk manusia — adalah hasil evolusi dari jenis sebelumnya yang lebih sederhana.
Maka seluruh organisme tidak diciptakan dalam wujud saat ini secara langsung. Evolusi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta prinsip survival of the fittest, menjadikan hanya mereka yang paling tangguh saja yang dapat bertahan (konsep ini dikenal luas sebagai teori tersebut). natural selection atau survival of the fittest - yang sejatinya tidak menjadi sesuatu yang baru).
Akan tetapi, Darwin sangat menarik perhatian karena menyajikan data-data langsung dari pengamatannya di lapangan. Teori yang diajukannya tersebut menciptakan gempar besar dan dilihat sebagai sebuah "revolusi" dalam dunia sains. Bahkan, hal itu dipandang menjadi pemicu goncangan pada fondasi keyakinan agama masa itu.
Teori Darwin juga menimbulkan gempar dalam kalangan publik dikarenakan dianggap sebagai hal yang sensitif. Banyak orang awam memahami bahwa Darwin seolah-olah menyebutkan " manusia adalah keturunan dari simpanse" atau "manusia tidak jauh beda dengan hewan".
Bisa jadi inti teori evolusi milik Darwin, yang mencantumkan kepercayaannya pada spesies hewan dan tumbuhan saat ini, sesungguhnya berevolusi dari variasi spesies sebelumnya dengan ciri-ciri beragam. Seperti halnya dalam tulisannya, Darwin menyebutkan bahwa setiap organisme melahirkan biji atau benih pembibitan melebihi jumlah individu generasi mendatang yang bertahan hidup; populasi sebuah spesies relatif stabil sementara pertempuran untuk kelangsungan hidup merenggut nyawa banyak di antara keturunannya.
Darwin menyadari kekurangan dalam teorinya dan mengakui, "Kebenaran tentang asal-usul manusia serta riwayat hidupnya masih perlu dijelaskan lebih lanjut. Sebenarnya, saya cukup cemas ketika harus menjelaskan bahwa saya mendukung ide bahwa suatu spesies bisa bermutations. Namun, keyakinan saya pada gagasan tersebut muncul dari fakta bahwa ada banyak fenomena alam yang menjadi jauh lebih masuk akal dengan adanya pemikiran ini."
belum termasuk kritikan terhadap Darwin yang dikenal sebagai "nenek moyang monyet asal Inggris," timbullah Thomas H. Huxley (1825-1895), dia menjadi pendukung teori Darwin melalui tulisan-tulisannya di berbagai bukunya. Man's Place in Nature (1863) yang menjelaskan pertumbuhan manusia secara berurutan, serta meninjau perbandingan struktur anatomi tubuh manusia dengan kera, terutamanya simpanse dan gorila.
Huxley mengamati bahwa hubungan antara kera besar dan manusia sangat erat. Proses perkembangan evolusinya juga sangat serupa serta tunduk pada aturan evolusi yang sama.
Darwin menerbitkan lagi The Descent of Man (1871) yang pertama kali mengacu pada spesies tunggal tersebut Homo sapiens Tidak heran lagi, buku Huxley dan Darwin ditulis dengan huruf miring dan sering diabaikan oleh publik luas karena interpretasi mereka bahwa kedua pemikir tersebut memang secara jelas menyebutkan bahwa manusia merupakan keturunan langsung dari kera besar tanpa ekor yang masih ada hingga saat ini. Hal ini membuat masyarakat pada umumnya meremehkannya.
Jadi, pada waktu itu, siapa pun yang mempercayai teori Darwin dan Huxley akan dianggap seolah-olah mereka mengaku bahwa leluhurnya berasal dari simpanse, gorila, atau orangutan.
Diskusi saintifik tentang asal-usul manusia malahan memicu minat sejumlah ahli. Ini melibatkan para pengamat medan seperti pencari fosil dan petunjuk ilmiah lainnya, sering kali masuk ke dalam area kerja di luar sana untuk menjelajahi daratan dan gua demi menemukan bukti-bukti tersebut.
Pencarian ilmu tentang kehidupan manusia dimulai, sekaligus menjadikannya subjek dan asal dari berbagai pertanyaan. Bila dibandingkan dengan binatang, manusia adalah spesies yang mempunyai karakteristik paling mencolok di antara mahluk hidup lainnya.
Kecerdasan manusia, kapabilitas mereka dalam berkomunikasi dan menggunakan bahasa, kecenderungan untuk hidup secara sosial dalam kelompok, serta ketergantungan pada peralatan membantu, semua ini berkembang seiring peningkatan pola perilaku budaya yang semakin kompleks sementara aspek-aspek perilaku instingtif mulai meredup.
Struktur badan manusia yang istimewa ini dikenal karena dapat berdiri tegap menggunakan kedua kakinya serta keahlian tangannya dalam menggenggam dan melaksanakan gerakan dengan ketepatan tinggi. Ditambah lagi, volumenya pada bagian kepala juga sangat luas dikarenakan ukuran otaknya yang cukup besar.
Ilmu ini kemudian berkembang pesat dan memikat banyak pengikut, hingga akhirnya tumbuh menjadi cabang studi bernama paleoantropologi didukung oleh berbagai bidang keahlian terkait. Sebaliknya, masalah utamanya pada masa tersebut tidak lagi fokus pada proses evolusi dari simpanse, gorila, atau kera utan menuju bentuk manusia.
Akan tetapi, muncullah pertanyaan tentang kapan proses tersebut berawal dan sejak kapan terjadilah perpecahan antara leluhur manusia dengan makhluk yang dikenal sebagai kera raksasa. Oleh karena itu, pertanyaan ini bermunculan lantaran beberapa ahli sudah semakin percaya bahwa manusia benar-benar berevolusi dari suatu jenis hewan yang mirip dengan kera besar tersebut.
Hingga akhirnya muncullah Ernst Heinrich Haeckel dari Jerman, melalui karyanya berupa buku tersebut, Sejarah Pembentukan Alam Semesta Tahun 1874 yang justru mengamini pemikiran Darwin. Haeckel menyuarakan ide tersebut dengan merancang "peta genealogis" evolusi manusia.
Menurut pendapatnya, kehidupan manusia bermula dengan wujud yang sederhana dan primitif. Homo primigenius , di sana dulunya pernah ada jenis manusia yang memiliki bentuk tubuh seperti kera besar dan tidak dapat berbicara.
Makhluk yang dikenal sebagai "rantai mata yang hilang" ( the missing link Ini, ketika dinyatakan dalam Bahasa Latin, disebut Pithecanthropus alalus Atau "entitas setengah manusia dan setengah monyet yang tidak bisa berbicara".
Berdasarkan teorinya, mahluk buta ini bisa ditemukan di wilayah tropis tempat tinggalnya para monyet berukuran besar. anthropoidea ("menyerupai manusia") seperti simpanse, gorila, dan orangutan.
Tepat pada saat yang sama, Alfred Russel Wallace (1823-1913), yang pada tahun 1858 mengirimkan makalahnya bersama Darwin ke hadapan anggota societies Linnaeus, juga merilis sebuah karya terkenal. Malay Archipelago (1869) dan Tentang Sebaran Geografis Hewan .
Dia pun memaparkan bukti langsung dari temuan studinya di hamparan hutan tropis Malaya, Sumatra, Jawa, serta Kalimantan. Kemudian ia melaporkan ditemukannya simpanse raksasa seperti orangutan yang berasal dari Kalimantan.
Dampak yang terjadi, di pentas ilmiah pada akhir abad ke-19 tersebut, gagasan Darwin tentang evolusi yang secara eksplisit tidak pernah menyatakan "manusia keturunan dari monyet" pun jadi bahan pembicaraan dan kontroversi, baik oleh pendukungnya maupun penentang - bahkan sampai mendapat cacian.
Sejak zaman abad ke-18, Linnaeus telah menciptakan sistem pengelompokan untuk manusia yang termasuk dalam cabang urutan Primates (Latin:صند prima Atau urutan pertama, yaitu puncak tertinggi dari 'pohon silsilah' kerajaan binatang (Regnum Animalia), sejajar dengan kera dan monyet.
Aliran ilmuwan tersebut ternyata memicu minat seorang muda dari Belanda bernama Eugene Dubois (1858–1940). Ia terinspirasi dengan gagasan sederhana berikut: "Setiap jenis monyet, dan lebih spesifik lagi kera anthropoid Merupakan penduduk hutan tropis. Tokoh utama ini bertubuh berbulu dengan batasan tertentu dan selalu mencari area hangat. Baik suka maupun tidak sukakan, aku harus mengunjungi wilayah tropis tersebut jika ingin menemukan fosil, guna membuktikan keberadaan seorang manusia kera yang dapat berdiri tegak menggunakan kedua kakinya.
Pria muda bernama Marie Eugene Francois Thomas Dubois lahir di kota Eijsden, yang terletak di provinsi Limburg-Belanda, pada tanggal 28 Januari 1858. Ia merupakan buah cinta dari pasangan Jean Joseph Balthasar Dubois dan Maria Catharina Floriberta Agnes Roebruck.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia melanjutkan studi ke bidang kedokteran dan pada tahun 1884 berhasil lulus dari Universitas Amsterdam sebagai seorang dokter terdidik. Empat tahun berikutnya dia mendapat posisi sebagai lektor untuk subjek anatomi, dan pada periode yang sama pula dirinya mengukuhkan ikatan rumah tangga dengan Anna Geertruida Lojenga.
Sebagai putra dari seorang apotek desa, Dubois telah dikenalkan dengan cinta untuk sains sejak kecil, termasuk kerap membantu sang ayah dalam pengambilan tumbuhan berharga di area asal mereka. Selain itu, ketika menjalani masa studi di Sekolah Menengah HBS Roermond, dia juga merasa tertarik pada hobi seperti mengoleksi spesimen zoologi, mineralogi, serta melakukan eksperimen di laboartori yang lainnya.
Pada tahun 1877, Dubois memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran dan berhasil menyelesaikan pendidikannya. Meskipun demikian, ia tidak berencana untuk membuka klinik medis, melainkan lebih tertarik untuk fokus pada pengetahuan tentang alam.
Setelah bekerja sebagai asisten anatomi (1881), ia kemudian naik jabatan menjadi asisten Thomas Place. Pada periode tersebut, Dubois semakin tertarik pada fisiologi, dan minatnya mulai condong ke arah morfologi.
Pada tahun 1885, Dubois memulai penelitian mandiri tentang struktur tubuh hewan berkukur. (larynx), untuk mendeskripsi perbandingan anatomis larynx Dari berbagai jenis grup hewan dengan penafsiran sejarah evolusinya melalui organ-organ tertentu. Namun, upayanya tidak menghasilkan karya yang diharapkan, salah satunya dikarenakan kekurangan dana serta bantuan, pasalnya Belanda sedang berada dalam masa resesi ekonomi paling parahnya.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa saat menulis makalah tersebut pernah terjadi sebuah "peristiwa" berupa diskusi akademis diantara Dubois dan Fuerbringer. Dicurigai, Dubois yang sensitif tidak setuju dengan usulan dari senior-nya untuk memodifikasi naskah hasil penelitian miliknya.
Dia marah besar karena tidak ingin posisinya hanya jadi murid taat pada gurunya. Peristiwa itu bikin kepercayanyaan terhadap orang lain berkurang dan ia malahan makin paranoid bahwa karyanya nanti bakal diambil alih oleh pihak lain.
Kemudian tidak berselang lama, Dubois mengajukan diri sebagai dokter tentara Belanda dengan maksud untuk pergi dari Amsterdam serta diutus menuju Hindia Belanda. Pada tahun 1887, ia pun berlayar sambil membawa harapan untuk menemui makhluk-makhluk tersebut. missing link itu.
Dubois diposisikan di Sumatera, lalu memulai pekerjaannya dalam menghasilkan berita:
Painan, 8 November 1888 ..... sepertinya ada seorang doktor militer asal Bouveland..... yang sudah mengadakan beberapa temuan di dalam goa-goanya yang besar serta populer di Boea, wilayah Pajakoemboeh. Dia juga melaksanakan penggalian pada kerangka hewan bermacam-macam, tengkorak manusia dll. Informasi tersebut belum pasti, namun hal itu patut untuk mendapatkan perhatian Anda....
Sebagaimana ditulis oleh J.L. Weyers dari Sumatera, disampaikan kepada E. Delvaux - yang merupakan bagian dari Ikatan Ahli Antropologi Brussels.
Selanjutnya Weyers menulis lagi:
Painan, 26 Maret 1889… Proyek penggalian oleh Mr. Dubois, seorang sarjana asal Belanda yang pernah melanjutkan studinya di Universitas Leiden... berhasil menemukan banyak fosil tulang serta bermacam-macam spesies hewan, termasuk tengkorak gajah raksasa... hal ini pasti menyenangkan bagi mereka yang memiliki ketertarikan pada bidang ilmu pengetahuan umumnya....
Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, Delvaux mengumumkan di depan Ikatan Ahli Antropologi Brussels: "Kita dapat menarik kesimpulan bahwa pulau-pulau di sebelah barat dari Kepulauan Indonesia adalah reruntuhan tanah besar dahulu kala, yang pernah menjadi rute komunikasi langsung antara Benua Asia."
Dalam serangkaian tulisan Dubois yang dipublikasikan setelah ia ditugaskan menjadi dokter militer, terlihat ada lima alasan utama tentang mengapa Indonesia (saat itu Hindia-Belanda) digunakan sebagai tempat pencarian fosil dan jejak kehidupan nenek moyang manusia.
Alasannya yang pertama, Dubois merujuk pada Darwin seperti dikutipnya The Descent of Man Yang mengatakan bahwa "leluhur" kita seharusnya tinggal di wilayah tropis, karena manusia prasejarah telah kehilangan rambut tubuhnya saat evolusi berlangsung. Pada masa Pleistosen yang memiliki iklim sedang, suhu udara tentu lebih rendah daripada periode modern ini.
Orangutan, sebagaisalah satu hewankera dekat dengan manusia secara genetik, pada masa lalu hanya dapat ditemukan di wilayah beriklim tropis. Demikian juga kemungkinan nenek moyang kita menurut teori evolusi, benar-benar terpaku dan berkeliaran di area-area spesifik saja.
Gorilla dan chimpanzee hanya bertahan di benua Afrika. Sementara orangutan, gibbon, wau-wau, serta siamang semuanya memilih habitat mereka di wilayah Asia Tenggara berdasarkan penemuan fosil hewan primata tersebut. Ini adalah poin utama dari kedua sisi.
Darwin berpendapat bahwa Afrika adalah wilayah yang paling logis untuk menjadi kampung halaman awal kehidupan manusia, sebab spesies ini paling dekat secara evolusi dengan gorila dan siamang. Sementara itu, Lyell serta Wallace menyatakan bahwa Kepulauan Indo-China, habitat bagi orangutan dan hantu gunung, juga bisa jadi merupakan daerah di mana nenek moyang kita mungkin sempat berkeliaran.
Alasan keduatiga adalah, diyakini bahwa di Hindia Belanda pernah ada makhluk Anthropoid purba tersebut.
Argumen keempat berdasarkan ditemukannya keberadaan gibbon di "Hindia Belakang" dan "Archipel Indomaleise". Menurut Dubois, terdapat ikatan yang kuat antara manusia dengan gibbon di Hindia Belanda; meskipun demikian, dia tidak menjelaskan alasannya secara spesifik.
Terakhir, sebagai argumen kelima, terdapat begitu banyak gua di Hindia Belanda. Bukankah para peneliti fosil manusia prasejarah sering mencari gua-gua tersebut? Dengan jumlah gua yang cukup besar di sana, tidak mustahil jika nanti akan menemukan fosil atau jejak kehidupan manusia purba di Hindia Belanda.
Tentu saja, saat melakukan upaya "pengejaran" fosil manusia di gua-gua sejak awal kariernya di Sumatera, Dubois pernah merasakan kekecewaan akibat hanya menemukan fosil dari berbagai jenis primata seperti orangutan dan gibbon, serta binatang besar lainnya seperti badak, tapir, gajah, babi hutan, kijang, dan sapi.
Ia sangat hancur hati dan pernah menulis sebuah surat kepada kawannya:
Sungguh sangat mengecewakan... Sering kali saya harus tidur berkali-kali malam di dalam hutan... Rasanya tubuhku sudah tak sanggup lagi. Ini adalah tiga kalinya aku terserang demam parah... dari 50 tenaga kerja paksa yang ditempatkan untuk membantuku, banyak yang lari atau pindah, beberapa bahkan meninggal... Sekarang aku cuma punya 12-15 orang sebagai tenaga kerja paksa.... Hutan ini begitu tebal sehingga jalannya susah tertancap mata… Pegunungan batu karstnya curam…. Air juga sulit didapat.....
Setelah menyelesaikan tanggung jawabnya di Sumatera, Dubois berpindah ke Jawa dan memperoleh persetujuan atasannya untuk mencari fosil manusia prasejarah di wilayah tersebut. Tepat pada tahun 1889, ia berhasil meng uncover sebuah fragmen tengkorak di desa Wajak yang terletak tidak jauh dari Tulungagung, Jawa Timur.
Dubois cepat menuju lokasi tersebut, di daerah tempat warga kerap menjumpai reruntuhan tulang. Ia langsung memulai penggalian dan akhirnya pada November 1890, dia menemukan berbagai fosil, termasuk rahang bawah yang diyakini berkaitan dengan Pithecanthropus.
Di Trinil antara tahun 1891 hingga 1893, Dubois melakukan penggalian di area pinggir sungai yang telah dipengaruhi oleh arus Sungai Bengawan Solo. Pada Agustus 1891, ia berhasil menemukan sebatang geraham (molar), awalnya diyakini sebagai fosil gigi gorila. Selanjutnya, dia juga mendapatkan sebuah tengkorak.
Tahun selanjutnya, Dubois menemukan beberapa fragmen fosil tambahan, termasuk satu buah tulang paha yang memiliki ciri-ciri dari suatu penyakit mirip dengan tumor. Berdasarkan penemuannya tersebut, Dubois langsung menyatakan bahwa ia telah berhasil menemukan missing link , mengidentifikasi jejak manusia-kera yang bergerak dengan postur tubuh tegap seperti Pithecanthropus erectus.
Penemuan Dubois tiba-tiba mendapat perhatian di kalangan ilmuwan global.
Sebab arena olahraga sebelumnya kurang percaya tentang beberapa penemuan awal mengenai makhluk prasejarah tersebut. Contohnya seperti temuan sisa-sisa fosil manusia di gua Engis, Belgia (1830), dilanjutkan dengan ditemukan fosil lain di Gibraltar bagian selatan Spanyol (1848), dan juga fosil manusia di Neander, Jerman (1856). Semula mereka berpandangan bahwa hal itu hanyalah variasi aneh dari jenis manusia modern, namun baru pada masa-masa awal abad ke-20 barulah dipastikan sebagai fosil spesies Homo neanderthal.
Geografis Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda di akhir abad ke-19 masih kurang diketahui oleh masyarakat umum. Tidak mengherankan jika ada komentar seperti ini:
Apa sebenarnya Bengawan Solo? Apakah fosil tersebut berasal dari seekor individu saja? Jika kelak di tempat yang sama menemukan lagi fosil tulang paha kanan, bisakah kita menyimpulkan bahwa makhluk ini memiliki kedua kakinya? Dan jika di Trinil suatu hari menghasilkan penemuannya lainnya yaitu tengkorak baru, bisa jadi makhluk tersebut punya dua kepala? Meskipun temuan-temuan tersebut nyata, mungkin hanya tersisa bagian-bagian fosil dari monyet besar dengan kemampuan bersuara aneh. Hylobates giganteus Ini semuanya hanyalah tebak-tebakan karya Dubois.
Penerbitan hasil penemuan Dubois sebenarnya menimbulkan perdebatan yang terus-menerus. Pithecanthropus erectus Itu hanyalah sebuah monyet besar, atau memang sisa-sisa keturunan nenek moyang manusia modern?
Perihal semacam ini membuat Dubois terus-menerus gelisah hingga akhir hayatnya. Ia berubah menjadi penyelidik sejati, fosil tersebut bagai benda yang tak terpisahkan dari jiwa dan dirinya, serta fragmen fosil itu senantiasa disimpan dengan hati-hati.
Dubois sering kali merasakan ketakutan, dengan beban yang terus mengganggu hidupnya serta cenderung menghindari diskusi akademis. Ia kemudian tumbuh menjadi seorang ilmuwan unik, sementara keyakinannya semakin menurun. Terus-menerus didera perasaan kalah dan pasrah.
Sebenarnya, tingkat keingintahuan orang sangatlah besar, contohnya hingga tahun 1930 telah diterbitkan kurang lebih 500 buku sains yang secara spesifik mendiskusikan tentang "Manusia Jawa" di wilayah Bengawan Solo – penemuan Dubois.
Namun mungkin saat ini Dubois telah mereda dan bahagia, karena di pemakamannya ditambah dekorasi salib tibia dan keretakan Pithecanthropus, dan kini terdapat juga monumen peringatan. Pithecanthropus erectus Yang dulunya hanya diartikan sebagai tengkorak makhluk bodoh, seperti individu mikrokefalus atau keturunan campuran antara "Orang Asli" dan kera, sekarang telah dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi dengan disebut Homo erectus atau dalam bahasa populer "Manusia Berjalan Tegak", sering juga disebut "Manusia Jawa".
Sayangnya, Dubois sedikit terlalu dini dalam melampaui zamannya. Pada waktu ia menyatakan penemuan "Manusia Jawa" dari Bengawan Solo sebagai the missing link Teori Darwin, dunia masih belum siap untuk mengakui.
Ilmu pengetahuan pun masih belum siap pada masa itu, ketika teori "manusia berasal dari kera" baru mulai berkembang perlahan.
Begitulah, Pithecanthropus erectus Disebut-sebut sebagai organisme yang berpindah dari daratan China menuju Indonesia. Bukti hal tersebut ada pada penemuan Situs Houkoudian di dekat Beijing, tempat ditemukannya jumlah besar fosil manusia. Fosil-fosil tersebut menjadi bukti. Sinanthropus pekinensis Atau Homo Erectus. Siapakah tokoh yang berada di belakang temuan tersebut? Pithecanthropus erectus ,dialah oleh Eugene Dubois, seorang pria Belanda yang tidak puas (Majalah CDR News/Kompas.com)