Pada siang hari itu, cuaca di Pasar Higienis Bahari Berkesan, Kota Ternate sedang mendung. Sahrin menyusun rapi buah kenari kering di atas sebuah wadah yang berukuran sedang di depan gerai pasar.
Dia tampaknya merasa sabar menunggu pembeli, di tengah tengah banyak orang yang berlalu-lalangi di sekitarnya.
Perempuan asal desa Dum-Dum, Halmahera Utara, mengaku telah menjual buah cengkeh di kota Ternate selama sekitar 20 tahun.
Hasilnya, dia berhasil melanjutkan pendidikannya untuk lima anak kandung dan empat anak angkat, di mana tujuh dari sembilan di antaranya mampu menyelesaikan gelar sarjana.
Ia cerita, sebelum berjualan sagu, dia pernah berkeliling jualan ikan teri yang didapat di Desa Tabanoma. Kemudian dijual ke Galela dan Tobelo, Halmahera Utara.
Dia menjalankan pekerjaannya ini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, termasuk biaya sekolah untuk anaknya yang ketiga pada tahun itu. Kondisi mereka bertambah berat setelah ayah mereka meninggal dunia pada tahun 1991, akibat kecelakaan mobil.
"Istri pertama saya meninggal pada tahun 1991. Mereka terlibat kecelakaan di Panta Kapal, headed (arah) ke Sidangoli ke Malifut. Pada waktu itu, tiga anak saya masih kecil. Anak nomor dua masih sling kerangasan (merangkak)," tutur Sahrin.
Beberapa tahun setelahnya, Sahrin dipertunangkan dengan laki-laki dan akhirnya menjadi suaminya keduanya.
Tetapi keadaan belum membaik. Penjualan ikan teri keliling pun dihentikan. Akibat konflik horizontal yang terjadi pada tahun 1998-1999 di Maluku Utara.
Dia masih ingat, dipaksa lari dan mengungsi ke kampung halaman di Desa Samsuma, Pulau Makian, Halmahera Selatan, membawa tiga putranya.
Dari suaminya yang kedua, ia membawa empat anak dari pernikahannya yang sebelumnya.
Dari hasil pernikahan keduanya, Sahrin melahirkan dua orang anak. Sekarang, semua anaknya adalah sembilan orang, antara dua anak kandung dan empat orang anak tiri.
Setelah konflik horisonal, Sahrin dan suaminya harus kembali berpikir mempertimbangkan persekolahan anak-anak mereka.
Sementara itu, di desa tidak ada penghasilan tetap. Keduanya, kemudian mencoba keberuntungan dengan merantau ke Kota Ternate.
Di Kota Ternate, Sahrin membantu meningkatkan perekonomian keluarga dan kembali berjualan keliling. Tidak ikan teri, kali ini dia menjual haluagenagengi kenari.
Halva kenari adalah camilan khas Maluku Utara, terbuat dari olahan kenari dengan karamel.
Enam tahun kemudian, suaminya yang kedua meninggal dunia akibat penyakit. Sahrin, kembali menjadi orangtua tunggal, dan bertekad untuk membesarkan sembilan anaknya.
"Saya pernah menikah kembali, memiliki dua orang anak dengan suamiku yang kedua. Namun nasib berkata lain, suamiku meninggal karena sakit pada tahun 2008," katanya Sahrin.
Seorang perempuan berusia 57 tahun ini, sekali lagi harus kuat hati menggantikan peran suami mencari nafkah.
Jualan halua kenari di Kota Ternate hingga ke Kota Tidore, untuk memenuhi kebutuhan besarnya yang harus memberi makan, menyekolahkan sembilan orang anak.
Pada saat itu, katanya, harga lutut kenari hanya dijual seharga Rp 1.000 per paket. Kadang kabarnya ia pulang kerumah hanya membawa uang sekitar Rp 100-300 ribu.
Uang hasil penjualan tersebut harus dipisahkan, bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tapi juga untuk urusan pendidikan anak-anak.
Biasanya, anak kandung dan anak tiri memiliki usia yang tidak jauh berbeda. Bahkan, saat mereka mengikuti ujian sekolah, mereka biasanya usianya sama. Tentu saja, berbelanja kebutuhan sekolah bagi mereka menjadi dua kali lipat.
Sangat berbeda ketika kamu melakukan ujian dan mengawali tahun pelajaran baru.
"Apa yang sudah harus saya simpan adalah sesedikit-sedikitnya. Harus ada simpanan, jangan sampai saya tidak punya uang lagi kalau mereka minta," kata Sahrin.
Ketika anak buahnya langsung masuk kuliah. Sahrin kemudian memutuskan berhenti berjualan di pinggir jalan dan mulai berjualan di pasar.
"Saya menjual di pasar selama lebih dari 10 tahun. Sebelum itu, aku menjual pagi di bandara Ternate, kemudian pindah ke depan apotik di siang hari. Namun, ketika kapal Pelni tiba, aku berjualan di pelabuhan," kata Sahrin.
Sahrin menambah variasi penjualannya setelah menetap di pasar, yaitu kacang goreng dan cabai rawit.
“Kacang goreng dan cabai rawit hanya sedikit sekali. Yang utama ya penjualan buah kenari kering dan halua,” kata Sahrin.
Satu halua kenari berukuran panjang sekarang dijual dengan harga Rp 5.000 per bungkus. Yang bulat adalahRp 10 ribu per bungkus, isi lima.
Harganya besar Rp 30 ribu dan kecil Rp 10 ribu.
Bahan baku biji kenari diperoleh dari Pulau Makian. Dia mendapatkannya hanya dengan modal kepercayaan dari peternak kenari.
“Lidah ini biasanya bisa menjadi modal, jadi orang percaya kita, jadi kita sangat menjaga kepercayaan orang. Biasanya, jika langganan itu... ini antara 50-60 kilogram. Belum dibayar, saya akan habiskan setelah itu baru setor.”
"Saya selalu berusaha menjaga agar modal tetap ada, agar bisa tetap menjual. Keuntungan itu digunakan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan perkuduian sehari-hari, tapi modal harus selalu ada. Supaya punya sumber untuk mengembalikan," ujar Sahrin.
Anak-anak jadi sarjana
Di sela-sela kesibukannya menjalankan bisnis. Sahrin tidak pernah berhenti menginspirasi dan meningkatkan rasa percaya diri sembilan anaknya. Agar mereka tidak perlu merasa malu, meskipun tidak ada ayah yang melindungi mereka.
Oleh itu, kesadaran itu tumbuh pada diri mereka sendiri. Meskipun tidak diminta, setiap pulang sekolah mereka selalu membantu mengolah kenari menjadi haluah.
Saya mengatakan kepada anak-anak, ibu sering diabaikan orang. Dikatakan, apa bisa seorang perempuan menyekolahkan anak begitu banyak.
Saya bilang demikian tidak dengan tujuan menyerah, melainkan itu untuk memotivasi mereka.
"Sekiranya mereka semangat menimba ilmu di sekolah. Karena prinsip saya, jika keluar dari kampung anak-anak dilempar tidak sekolah itu malu," kata Sahrin.
Sepuluh anakanya, tujuh di antaranya telah berhasil menyelesaikan studinya dan berhasil mendapatkan gelar sarjana. Sementara itu, dua di antaranya gagal menyelesaikan pendidikan mereka di bangku kuliah.
Dari jumlah itu, ada seorang anak berhenti kuliah di semester VII dan memutuskan kerja untuk membantu keuangan keluarga.
Dia mengatakan, salah satu dari cucunya setelah lulus sekolah menengah kembali ke desa untuk bekerja di kebun. Ia sudah menikah dan memiliki istri yang merupakan bidan.
Mereka mungkin tidak menyadari, mereka menganggap itu semua sebagai anak kandung saya. Karena saya memperlakukan mereka dengan sama.
Saya merasa bangga bahwa ada tujuh orang dengan gelar sarjana. Ada yang menjadi dosen, dan ada yang berniat untuk melanjutkan ke tingkat doktor."
"Dengan istilah lain, ada yang sudah diajarkan di sekolah dan ada juga yang merupakan honoraris. Anak bungsu telah meregangkan lengannya sendiri itu sudah mau menyelesaikan S2," katanya.
Sahrin merasa bersyukur pada hari itu, karena semua anaknya sudah menyelesaikan pendidikannya.
Bahkan, sebagian lainnya telah menikah dan memiliki keluarga yang sejahtera. Namun, ia masih belum berniat berhenti menjual halua dan kacang kenari kering di pasar.
Sahrin dibantu menantu perempuannya untuk terus menjalankan usahanya. Ia mengatakan ia hanya beristirahat berjualan jika sedang sakit atau saat ada hajatan keluarga.
Ia masih berniat membantu dan membiarkan cucu-cucunya juga sukses melanjutkan pendidikan.
“Allah telah memberikan rizki, telah mencobanya. Yang penting sabar dan ikhlas, apa mampu atau tidak. Anak-anak sebagian sudah menikah dengan baik. Hasil delima pun telah bisa membangun rumah di Kota Ternate.”
Meskipun anak-anak sudah selesai sekolah semua. Saya masih akan terus menjual sesuatu. Karena saya tidak bisa tinggal diam di rumah, aku harus ada kegiatan. Kalau menjual barang-barang kan bisa mendapatkan uang.
"Cucu pun dari kecil saya pelajariilah kerja. Saya ingin mereka berhasil seperti orang tuanya,” ungkap Sahrin.