Umur 2,5 tahun, Dino (nama samaran) anakku, mulai aku sekolahkan di
sebuah sekolah unggulan. Rutinitasnya setiap pagi tidak lagi bergelayut
manja di lenganku, tapi ribet dengan urusan persiapan sekolah.
Tak jarang, Dino berangkat mandi masih terhuyung dalam kantuknya.
Sering saat berangkat ke sekolahnya di mobil dia kembali tertidur. Namun
aku mengabaikan perilaku ini, karena aku yakin suatu saat akan berubah
seiring bertambahnya umur. Dan lagi, saat bermain dengan teman -
temannya Dino terlihat gembira.
Dino termasuk anak pintar, di umur 3.5 tahun sudah mampu berhitung
angka sampai bilangan 100, menghafal kata - kata dalam bahasa inggris,
bernyanyi dalam bahasa inggris yang memang menjadi bahasa utama di
sekolahnya. Siapa orang tua yang tidak bangga? Saat berkumpul dengan
teman atau keluarga besar, Dino selalu mengundang decak kagum. Pun,
postinganku di media sosial, penuh dengan pujian.
Tepat di usia 6 tahun 2 bulan, Dino masuk sekolah dasar. Selain
kegiatan sekolah, hari-hari Dino diisi dengan bermacam les semua mata
pelajaran, berenang, dan bermain musik. Dino patuh sekali mengikuti
jadwal yang aku buat. Pada penerimaan rapor semester pertamanya, semakin
aku dibuat kagum dengan hasilnya yang sangat baik. Apalagi saat
guru-nya mengatakan bahwa Dino adalah siswa unggulan di kelasnya.
Petaka dimulai saat liburan. Dino tidak mau bangun dari tidurnya.
Matanya sayu dan tidak bercahaya. Badannya lemas, tapi tidak panas, Dino
pun tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi di tubuhnya. Singkat
cerita keadaan ini berlangsung hampir 2 minggu, semua dokter ahli bahkan
profesor punya berbagai diagnosa namun selalu meleset saat dihadapkan
pada hasil test darah dan test lainnya.
Di tengah kebingungan kami, seorang teman menyarankan membawa Dino ke
seorang psikolog. Saran yang pada awalnya membuatku emosi karena
seolah-olah menganggap Dino sebagai anak yang sakit mental. Untunglah
suami saat itu kekeuh memaksa mencoba cara ini. Di ruang "curhat"
psikolog, Dino hanya bicara berdua saja. Kami menunggu di ruang lain.
Hampir 2 jam kami menunggu sampai akhirnya giliran kami tiba. Dino
yang diijinkan menunggu di ruangan yang sama, namun dengan jarak yang
membuatnya tidak bisa mendengar pembicaraan kami, dibuat sibuk oleh si
psikolog dengan buku warna.
Bagai guntur di siang bolong saat kami mendengar penjelasan psikolog
itu. Dino mengalami kelelahan mental, namun dia tidak mampu
mengungkapkan. Jadwal aktifitasnya yang bertubi-tubi sejak pertama kali
dia sekolah (yang berarti 3,5 tahun lalu) adalah penyebabnya. Dino tidak
menikmati aktifitasnya, tapi dia berusaha menurut untuk menyenangkan
kami (sungguh ini menusuk hati kami).
Ini adalah sebagian nasehat dari psikolog itu:
- Sistem pendidikan di Indonesia, kebanyakan masih mengutamakan
kecerdasan intelektual. Tidak heran di usia yang masih sangat dini, anak
sudah diajari membaca, menulis dan berhitung. Sebisa mungkin carilah
pra sekolah yang "hanya bersenang-senang", tanpa membebani otak anak
dengan hal-hal yang belum waktunya diterima oleh otak anak. Atau
kalaupun itu tidak bisa dihindari, diluar jam sekolah jangan lagi
menambahi beban mental anak dengan memaksa belajar hal-hal yang belum
perlu benar.
- Arahkan anak pada hal-hal yang positif namun harus tetap mengedepankan apa keinginan anak.
- Tidak membebani anak dengan tugas "kamu harus menjadi nomor satu"
untuk hal apapun. Tunjukkan dan buktikan, bahwa tanpa anak menjadi nomor
satu, anak tetaplah istimewa untuk orang-orang di sekitarnya.
- Tidak mengekspos kepandaian anak di muka umum dan di media sosial, karena itu menjadi beban besar untuk anak.
Kami pulang dan sama-sama terdiam. Air mataku meluncur tidak
tertahankan. Bagaimana bisa aku merusak mental anakku selama ini, bahkan
malah menganggap itu sebagai proses kebaikan untuknya.
Sampai di rumah, Dino langsung masuk ke kamarnya, sementara kami berembuk, memutuskan apa yang harus kami lakukan.
Pertama yang kami lakukan malam itu adalah meminta maaf pada Dino.
Selama ini kami benar-benar mengabaikan haknya. Selanjutnya kami
memutuskan mengurangi dengan sangat drastis jam-jam les Dino. Hanya
mempertahankan apa yang Dino mau yaitu les musik saja.
Tidak lama setelahnya, kami mulai mendapatkan Dino yang sesungguhnya,
Dino yang ceria, Dino yang bersemangat. Tanpa mengikuti les pelajaran
yang bejibun, nilai-nilai Dino tetap membanggakan (padahal kami sudah
bersepakat tidak akan mempermasalahkan nilai sekolahnya apapun
hasilnya).
Kunjungan ke psikolog masih beberapa kali kami lakukan, banyak ilmu
pengasuhan anak yang kami dapatkan. Semoga kisah ini menjadi pencerahan
untuk kita.
Sumber Facebook
Gambar Ilustrasi http://media.shafira.com